TANAH ULAYAT, TAMBANG DAN CSR
Penulis;
Adi Yusuf Tamburaka
Jumlah halaman; 104
Ukuran Buku: A5 (14,8×21)
Versi Cetak; Tersedia
Versi E-book: Tersedia
Berat; 0 Kg
Harga.Rp; 86.000
Warisan yang Terkooptasi merefleksikan bagaimana hak-hak masyarakat adat yakni atas tanah ulayat dan sumber daya alam yang menjadi dasar kedaulatan local secara sistematis tergerus oleh hukum dan kebijakan negara sejak era pasca-kemerdekaan hingga kini. Meskipun semangat awalnya adalah pembangunan nasional, undang-undang seperti UU No. 5/1967 tentang Kehutanan dan regulasi pengelolaan izin usaha telah mengambil alih wewenang atas tanah adat yang sebelumnya dikelola secara komunal, tanpa pengakuan formal terhadap hak ulayat.
Dalam studi hukum Agraria terkini, Tanuramba (2019) menyebut bahwa meskipun terdapat instrumen formal (Permen ATR/BPN No. 18/2019) untuk menyusun penataan tanah ulayat, pelaksanaannya masih terbatas dan belum menyentuh wilayah yang sudah menjadi objek izin usaha perusahaan Temuan ini semata-mata menunjukkan bahwa kepastian hukum bagi masyarakat adat masih jauh dari harapan, meskipun negara telah mengeluarkan regulasi pengakuan.
Selanjutnya, Krismantoro (2022) menegaskan bahwa meskipun hukum nasional mengakui bentuk hak ulayat, mekanisme pengakuannya melalui sertifikat yang dikeluarkan BPN belum memadai melindungi masyarakat adat, karena tidak memiliki mekanisme perlindungan terhadap sengketa atau penyalahgunaan sertifikat oleh pihak ketiga. Ini menunjukkan bahwa situasi legal bagi tanah adat masih rapuh dalam struktur hukum nasional.
Lebih lanjut, Fernando et al. (2025) menyoroti bahwa meskipun penerbitan hak pengelolaan (HPL) pada tanah ulayat menunjukkan pengakuan awal, regulasi baru (Permen 14/2024) masih belum mampu memberikan perlindungan memadai—terutama dalam konteks pemberian HPL yang tumpang tindih dan tidak disertai mekanisme partisipatif yang kuat. Ini berarti pengakuan formal masih belum diiringi jaminan keadilan dan keberlanjutan.




Reviews
There are no reviews yet.